Your IP

Sign by Nufail - Year 2009

Ayo Cari

Memilih Sekolah Untuk Anak


Bila mendekati tahun ajaran baru, para orangtua biasanya mulai sibuk mencari sekolah dasar untuk anak sebagai sarana untuk menuntut ilmu dan untuk meraih cita-cita di masa depannya. Karena itu pastilah setiap orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya, mereka berusaha agar anak dapat belajar dan mendapat pendidikan disekolah yang bermutu.

Namun sekarang tidak sulit untuk mencari,karena sudah banyak sekolah yang mengembangkan kurikulum dan dan kwalitasnya, selain karena banyaknya persaingan juga disesuaikan dengan kebutuhan anak yang semakin banyak untuk menunjang pengetahuan dan wawasannya. Walaupun begitu orang tua tetap harus cermat dan teliti agar sekolah yang menjadi pilihan itu benar-benar baik untuk anak.

Beberapa faktor-faktor yang juga harus diperhatikan orang tua dalam memilih sekolah antara lain:


Kurikulum
Saat ini sudah banyak sekolah-sekolah yang menambah kurikulum selain yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan, kurikulum yang sudah ada itu biasanya ditambah dengan pelajaran bahasa asing dan komputer yang sekarang umum terdapat disekolah-sekolah dasar. Hal ini juga menjadi nilai tambah bagi sekolah karena dengan belajar bahasa asing sejak dini (Inggris atau mandarin yang umum dipelajari) maka orang tua berharap anaknya dapat mengerti arti dan percakapan dalam bahasa asing. Selain itu adanya pelajaran komputer juga menjadi pilihan agar anak dapat mengerti tekhnologi dan kemajuan.


Guru-guru / para pengajar
orang tua juga harus mengetahui bagaimana kwalitas para pendidik disekolah itu, apakah berpengalaman, tetapi saat ini sudah banyak guru yang lulusan sarjana pendidikan sehingga mereka juga mempunyai kemampuan untuk mengajar lebih baik. Selain itu guru berkepribadian baik, profesionalisme dan dapat berkomunikasi yang baik dengan anak juga menjadi pilihan karena nantinya para guru-guru itu yang mengajar dan mendidik anak disekolah.


Sarana dan prasarana yang ada disekolah
Dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap dan baik disekolah juga akan memperlancar kegiatan belajar anak sehingga dapat mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan anak.


Kegiatan ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler seperti: Les sempoa, komputer, melukis, berenang dan lainnya juga menjadi penunjang disamping pelajaran sekolah yang sudah ada, karena berguna untuk menambah kreatifitas anak.


Lingkungan sekolah
Sekolah yang berada disekitar lingkungan yang baik dan aman akan memberikan kenyamanan pada anak dalam kegiatan belajar, oleh sebab itu faktor lingkungan juga harus menjadi pertimbangan para orang tua dalam memilih sekolah.


Memiliki reputasi dan nama baik
Dengan reputasi dan nama baik sekolah yang terjaga maka makin banyak orang tua yang akan memilih sekolah itu karena mengetahui kwalitas guru dan para lulusannya yang berhasil mendapat nilai-nilai yang baik untuk dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah pilihan.

Selamat memilih sekolah, semoga hal-hal yang tertulis diatas dapat menjadi tambahan pertimbangan para orang tua dalam memilih sekolah yang baik untuk anak.



Baca Selengkapnya..

Mengenali Autis sejak dini


Tak perlu menunggu hingga besar untuk mengetahui si kecil mengalami autis atau tidak. Sejak bayi pun bisa dideteksi. Sering terjadi, setelah si kecil beranjak besar baru diketahui ia mengalami gangguan perkembangan, entah lambat bicara, retardasi mental, hiperaktif, autis, dan lainnya. Itu pun bila si orang tua mencurigai anaknya bermasalah dan segera membawanya ke dokter. Kalau tidak, tentulah makin terlambat saja diketahuinya. Tak mudah untuk mengetahui apakah anak kita mengalami gangguan perkembangan atau tidak, terlebih untuk membedakan autis dengan gangguan penyimpangan lain. Misal, membedakan autis dengan retardasi mental. Pada anak retardasi mental, seluruh aspek perkembangannya lambat, baik kecerdasan, sosial, maupun motorik halusnya. Jika diukur IQ-nya pun dibawah 70, hingga sulit membedakannya dengan anak autis, karena respon pada anak autis juga lambat. Makanya, anak autis cenderung bersikap cuek.

Tanda-tanda anak hiperaktif pun hampir mirip dengan anak autis, yang biasanya terjadi di usia berjalan. Misal, anak tak bisa diam, tak bisa menatap lawan bicaranya, dan tak bisa konsentrasi. Perhatiannya juga mudah beralih, bila diajak ngomong seolah-olah tak mendengarkan. "Nah, tanda-tanda ini juga dijumpai pada anak autis. Biasanya, 50 persen anak autis juga tak bisa diam dan konsentrasinya buruk." Terlebih jika hiperaktifnya disertai lambat bicara, makin susahlah membedakannya, apakah autis atau lambat bicara.

Manifestasi gejala yang mirip ini, bisa ada di pelbagai gangguan. Hingga, biasanya tak dijadikan gejala khas pathognomonis atau karakteristik utama dari suatu gangguan. Misal, gejala panas. Bukankah bisa pertanda sakit gigi, radang tenggorok, radang telinga, tifus, malaria, atau demam berdarah? Hingga, kita tak bisa bilang, "Oh, si kecil panas, pasti demam berdarah.", misal. Sebab, untuk memastikan demam berdarah harus ada pathognomonis-nya. Misal, bila diperiksa darahnya, trombositnya turun atau bila lengan atas dipencet, di bagian bawahnya dijumpai bintik-bintik merah, berarti ada perdarahan karena pembuluh darahnya rapuh. "Jadi, tak semua gejala panas itu menandakan demam berdarah. Demikian pula dengan gangguan perkembangan, perlu ditandai apa yang menjadi pathognomonis-nya."

AUTIS INFANTIL

Nah, autis pada bayi, sebenarnya bisa diketahui sejak usia beberapa minggu setelah kelahirannya, dikenal dengan istilah autis infantil. Autis ini menempati spektrum paling berat, hingga disebut juga dengan nama penyakit Kanner. Ada juga yang menempati spektrum ringan, namanya ASD atau Autistic Spectrum Disorder.

Ibarat gambar yang diberi warna, autis infantil atau Kanner itu hitam pekat, sementara yang ASD abu-abu karena sebetulnya mendekati normal. "Biasanya ASD lebih sulit dibedakan dengan gangguan lain yang bukan autis, seperti anak lambat bicara atau hiperaktif." ASD biasa juga disebut autisma atypical (tidak khas), asperger atau semantic-pragmatic disorder karena ASD akan tampak di usia sekitar 2 tahun atau saat ia mulai bicara. "Di sini anak sebenarnya bisa bicara tapi tak bisa berkomunikasi atau tak bisa menyusun kata. Hubungan dengan orang pun tak hangat atau tak normal.

Bila autisnya infantil atau terjadi sejak bayi, tentunya tak lagi dalam taraf ringan. Pada bayi, autis bisa dideteksi dari perkembangan sosial dan emosionalnya. "Bayi yang mengalami penyakit autisma, sosial emosinya tak berkembang dan tak berjalan semestinya. Dengan kata lain, mengalami distorsi atau penyimpangan perkembangan yang sangat menyeluruh." Hal ini bisa dilihat, misal, ketika si ibu menyusui ASI. Bila pada bayi normal, kala disusui akan langsung menempelkan tubuhnya ke dada si ibu dan sambil disusui menatap sang ibu sebagai tanda adanya attach atau kelekatan emosional dengan ibunya. "Jadi, ada insting melekat pada ibu. Lagi pula otak anak merekam bagaimana kedekatan dia dengan ibunya sejak dalam rahim."

Nah, pada bayi yang autis, saat disusui oleh ibu, tubuhnya akan kaku. Meski ia mengisap, karena memang ada insting lapar pada bayi, tapi secara emosi tak ada kelekatan dengan ibu. "Yang bisa merasakan seperti ini adalah ibunya sendiri. Hingga seringkali si ibu akan merasa seperti memeluk benda, entah guling, sebatang kayu atau bungkusan. Jadi, tak ada hubungan sosial emosinya." Begitupun bila bayi ditelentangkan, misal. Normalnya, usia beberapa minggu bayi akan spontan tersenyum meski tak kita apa-apakan.

Setelah usia 2-3 bulan mungkin akan berespon tertawa, misal, bila diajak bercanda. Jadi, ada kontak mata. Jika menangis pun jelas, entah karena lapar atau buang air. Makin usia bertambah, pada bayi normal juga akan aktif bereksplorasi atau punya keingintahuan besar pada objek-objek di sekelilingnya. "Sedangkan bayi autis, tak demikian. Ia tak berespon apa pun, entah kala diajak bercanda atau bercakap-cakap." Bila menangis, tangisannya juga tak jelas disebabkan apa. Jikapun ada kontak mata, matanya mungkin terlihat kosong tak bermakna. Kala tiba masa ekplorasi, ia juga tak tertarik dengan yang ada di sekelilingnya. Kalau, toh, tertarik, hanya pada satu objek saja ia bisa lekat dan terus-menerus.

Jadi, adanya penyimpangan dari perkembangan psikososial seperti itu bisa dilihat jelas pada bayi autis." Tentunya gejala-gejala autis bukan cuma itu. Makin usianya bertambah, ia tak bisa berinteraksi. "Dari segi kuantitas dan kualitas, interaksinya menurun dengan orang sekitarnya, juga tak ada perhatiannya terhadap lingkungan."

PENDETEKSIAN

Untuk mendeteksi autis pada bayi, menurut Dwidjo, bisa dilakukan dengan prosedur pemeriksaan rutin yang dilakukan tiap dokter atau bidan yang menanganinya. "Jadi, selain pemeriksaan TB dan BB, juga harus pemeriksaan perkembangan psikososial dan psikomotoriknya. Seperti, bagaimana kala kepala diangkat, tengkurap, jalan, dan sebagainya. Meski pada bayi autis psikomotorik ini sebenarnya tak terlalu penting, kecuali pada perkembangan mental yang seluruhnya terlambat." Jadi, dengan prosedur pemeriksaan yang berjalan baik, sebetulnya masalah autis pada bayi bisa terdeteksi sejak awal. "Sayangnya, para dokter sering tak punya waktu banyak untuk melakukannya." Itu sebab, diharapkan ibu sendirilah yang bisa mencatat bagaimana tonggak-tonggak perkembangan sosial-emosi bayinya.

Misal, usia tersenyum, melihat, atau berespon sesuai tahapan usianya. "Jika ciri-ciri yang harusnya ada tapi selama 3 bulan berturut-turut tak juga muncul, perlu dicurigai." Selanjutnya, ada baiknya lakukan diagnosa autis pada dokter yang berkompeten untuk itu, entah dokter anak, psikolog atau psikiater anak. Dengan demikian, penanganannya tak salah dan bisa menyeluruh.

PENANGANAN

Bila sejak awal autis pada bayi terdeteksi, penanganan yang dilakukan bisa memadai. "Karena prinsipnya, bayi mengalami hambatan perkembangan. Yang menghambatnya adalah penyakit autis. Maka, prinsip penanganannya, anak harus dirangsang terus-menerus dan didorong agar mencapai perkembangan optimal. Seperti diketahui, ada empat dimensi perkembangan pada bayi, yaitu motorik halus, motorik kasar, bahasa dan komunikasi, serta sosialisasi. "Jadi, sejak bayi 4 hal inilah yang perlu dilatih satu per satu agar ia mampu mencapai tonggak-tonggak perkembangannya. Setiap dimensi dirangsang dengan teknik dan metode yang sesuai kebutuhannya."

Karena anak autis tak punya interaksi sosial dan emosional yang memadai, metode yang dilakukan adalah pendekatan perilaku atau stimulasi yang disebut dengan ABA (Applied Behaviour Analysis). "Biasanya ini dilakukan untuk anak usia 1 tahun ke atas. Sistemnya dengan latihan dan pemberian pujian atau reinforcement bila ia berhasil."

Sedangkan bayi, lebih banyak diberikan rangsangan untuk sosial dan emosionalnya. Misal, bayi sering diajak berinteraksi, ditatap, didekap, dipeluk, dicium, tersenyum, dan sebagainya. "Jadi, lebih pada rangsangan sensori-motoriknya. Karena rangsang-rangsang yang sampai pada otak bayi itu 90 persen ditentukan rangsang sensori-motoriknya." Intinya, orang tua harus terus-menerus memberikan rangsang yang sifatnya mengembangkan respon sosial dan emosinya. Jangan malah meninggalkan si bayi sendirian, ya, Bu. Kalau digendong juga sebaiknya digendong depan dengan selendang, hingga ada rangsangnya bagi bayi.

Namun demikian, yang namanya gangguan perkembangan, selalu penyebabnya tak tunggal, tapi kompleks dan banyak faktor. "Tak seperti sakit malaria, kalau penyebabnya diobati akan segera sembuh. Pada gangguan seperti autis sulit dikatakan sembuh dalam arti hilang sama sekali penyakitnya, karena penyebab autis itu sendiri tak diketahui pasti." Hanya saja, tambahnya, bila sudah distimulasi dini, tahap perkembangannya akan lebih baik. Kecacatan atau hambatan dan kekurangan dalam perkembangannya setidaknya bisa diminimalkan. Hingga, ketika masanya di usia anak, taruhlah usia prasekolah, orang tua tak perlu sampai mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu lebih banyak untuk memberikan terapi pada anaknya. Nah, tunggu apa lagi? Segera lakukan pemeriksaan pada si kecil bila kita mencurigainya hingga bisa terdeteksi lebih dini jika ada gejala autis.

Baca Selengkapnya..

Gangguan Artikulasi Pada Anak


Anak-anak yang bicaranya tak jelas atau sulit ditangkap dalam istilah psikologi/psikiatri disebut mengalami gangguan artikulasi atau fonologis. Namun gangguan ini wajar terjadi karena tergolong gangguan perkembangan. Dengan bertambah usia, diharapkan gangguan ini bisa diatasi.

Kendati begitu, gangguan ini ada yang ringan dan berat. Yang ringan, saat usia 3 tahun si kecil belum bisa menyebut bunyi L, R, atau S. Hingga, kata mobil disebut mobing atau lari dibilang lali. "Biasanya gangguan ini akan hilang dengan bertambah usia anak atau bila kita melatihnya dengan membiasakan menggunakan bahasa yang baik dan benar," jelas Dra. Mayke S. Tedjasaputra. Hanya saja, untuk anak yang tergolong "pemberontak" atau negativistiknya kuat, umumnya enggan dikoreksi. Sebaiknya kita tak memaksa meski tetap memberitahu yang benar dengan mengulang kata yang dia ucapkan. Misal, "Ma, yuk, kita lali-lali!", segera timpali, "Oh, maksud Adik, lari-lari."

Yang tergolong berat, anak menghilangkan huruf tertentu atau mengganti huruf dan suku kata. Misal, toko jadi toto atau stasiun jadi tatun. "Pengucapan semacam ini, kan, jadi sulit ditangkap orang lain," ujar pengajar di Fakultas Psikologi UI dan konsultan psikologi di LPT UI ini.

PENYEBAB

Gangguan fonologis bisa dikarenakan faktor usia yang mengakibatkan alat bicara atau otot-otot yang digunakan untuk berbicara (speech motor) belum lengkap atau belum berkembang sempurna; dari susunan gigi geligi, bentuk rahang, sampai lidah yang mungkin masih kaku. Beberapa kasus gangguan ini malah berkaitan dengan keterbelakangan mental. Anak yang kecerdasannya tak begitu baik, perkembangan bicaranya umumnya juga akan terganggu. Bila gangguan neurologis yang jadi penyebab, berarti ada fungsi susunan saraf yang mengalami gangguan. Sebab lain, gangguan pendengaran. Bila anak tak bisa mendengar dengan jelas, otomatis perkembangan bicaranya terganggu. Tak kalah penting, faktor lingkungan, terutama bila anak tidak/kurang dilatih berbicara secara benar.

TERAPI BICARA

Bila penyebabnya kurang latihan atau stimulasi, akan lebih mudah dan relatif lebih cepat penyembuhannya asal mendapat penanganan yang baik. Namun bila dikarenakan gangguan neurologis, perlu dikonsultasikan ke ahli neurologi. Sementara jika berhubungan dengan keterbelakangan mental, biasanya relatif lebih sulit karena tergantung tingkat keterbelakangan mentalnya. "Kalau masuk kategori terbelakang sedang, pengucapan kata-kata anak biasanya juga sulit ditangkap. Akan tetapi dengan pemberian terapi bicara, pengucapannya bisa agak jelas, meski ada juga beberapa yang masih sulit dicerna oleh orang yang mendengarkannya," jelas Mayke.

Yang jelas, jika gangguannya masuk dalam taraf sulit, dianjurkan membawa anak berkonsultasi. Kriteria sulit: bila sudah mengganggu komunikasi atau kontak dengan orang lain, bahkan orang serumah pun tak mengerti apa yang dimaksudnya. Bila sudah ber"sekolah", gangguan ini bisa mempengaruhi prestasi. Misal, harus bernyanyi di depan kelas, tapi karena belum fasih membuatnya tak berani tampil. Jikapun berani, pengucapannya yang tak jelas akan memancing teman-teman mengolok-oloknya.

Dibutuhkan bantuan ahli terapi bicara untuk mengatasinya. Biasanya terapis akan menelaah kembali apakah si kecil mengalami gangguan speech motor. Gangguan speech motor ada yang bisa dilatih seperti halnya meniup lilin. Tak jarang perlu pula bantuan ahli THT untuk mengoreksi adanya gangguan pada organ-organ yang berhubungan dengan bicara yang berada di daerah mulut. Mungkin ada anak yang lidahnya tak terbentuk dengan baik, hingga terlalu pendek dan mempengaruhi kemampuan bicaranya. Cacat bawaan seperti sumbing juga bisa berpengaruh pada cara bicaranya, tapi gangguan ini bisa diatasi dengan operasi dan terapi bicara.

BAWA BERKONSULTASI

Anak yang mengalami gangguan fonologis kriteria sedang hingga berat, biasanya terlambat pula perkembangan bicaranya. Misal, baru bisa bicara di usia 3 tahun, atau usia 2,5 tahun baru bisa menyebut Mama/Papa. Kemungkinan lain, meski sudah 2 tahun tapi kemampuan bicaranya masih tahap bubbling alias tanpa arti, seperti "ma...mapa...pa". Namun bahasa resetif atau penerimaannya cukup baik, hingga bila ia disuruh atau diajak bicara akan mengerti.

Yang seperti ini pun, saran Mayke, sebaiknya dibawa berkonsultasi karena bila dibiarkan berlanjut, kemungkinan anak akan mengalami gangguan fonologis lebih parah. Itu sebab, bila sejak usia 10 bulan atau setahun, anak mulai dapat menyebut "Mama/Papa", tapi selepas 2 dua tahun tak bertambah, kita harus curiga dan cepat minta bantuan ahli. Terlebih bila kita sudah cukup banyak memberi stimulasi atau rangsangan. Bisa dengan membawanya ke psikolog/psikiater lebih dulu untuk mengetahui apakah ia mengalami gangguan fonologis karena keterbelakangan mental, gangguan neurologis, atau sebab lain.

Bila masalahnya menyangkut gangguan yang tak bisa ditangani psikolog, sebaiknya anak dirujuk ke ahli lain, seperti neurolog atau ahli terapi bicara. Para ahli terapi bicara bisa ditemui di berbagai institusi yang melakukan terapi untuk anak autis atau anak yang mengalami gangguan perhatian. Mereka biasanya juga menangani anak yang mengalami gangguan bicara. Sedangkan lama penanganan tergantung beberapa hal. Seperti berat-ringan gangguan, upaya/kesediaan orang tua untuk mengantar anaknya terapi secara teratur maupun melatihnya di rumah, serta kerjasama dari anak. Jadi, saran Mayke, kita jangan segan-segan menanyakan pada terapis apa yang perlu dilakukan di rumah untuk menangani anak. Harusnya terapis-terapis pun cukup terbuka untuk memberi saran atau masukan seperti itu.

Keahlian terapis juga mempengaruhi tenggang waktu yang dibutuhkan untuk menangani gangguan anak. Begitu pula penguasaan/pendalaman terhadap masing-masing bentuk gangguan, tingkat kesulitan, dan cara penanganan yang tepat untuk tiap gangguan tadi. Selain, terapis juga harus bisa membina hubungan baik dengan anak, hingga anak merasa senang mengikuti program tersebut. Sebaliknya, akan jadi kendala bila si terapis kaku dan tak bisa membujuk anak

Sumber : tabloid nakita (KG Group)

Baca Selengkapnya..